Jumat, 10 Mei 2013
Penelitian Yang Kristis
SIKAP PENGARANG PENGARANG KRISTEN TERHADAP KESALAHAN ILMIAH DARI TEKS BIBEL (1/2)
PENELITIAN MEREKA YANG KRITIS
Kita merasa heran karena reaksi yang berbeda-beda yang ditunjukkan oleh ahli tafsir Kristen terhadap kumpulan kesalahan-kesalahan, kekeliruan dan kontradiksi ini. Di antara mereka ada yang mengakui sebagian kesalahan-kesalahan tersebut dan tidak segan-segan membicarakan soal-soal yang rumit itu dalam karangan-karangan mereka. Ada golongan lain yang secara lihai menghindari hal-hal yang tak dapat dipertahankan, tetap mempertahankan kemurnian Bibel kata demi kata serta berusaha meyakinkan orang lain dengan keterangan-keterangan yang bersifat apologetik dengan memakai argumentasi yang tak terduga, dan dengan begitu mengharap orang lain akan melupakan soal-soal yang ditolak oleh logika.
R. P. de Vaux, dalam pengantar terjemahan Kitab Kejadian mengakui adanya kritik-kritik dan mengakui pula kebenaran kritik-kritik tersebut, akan tetapi, baginya, tidaklah penting untuk mengadakan penyusunan baru terhadap kejadian-kejadian pada masa yang lampau. Ia menulis dalam catatan-catatannya: bahwa Bibel menyebutkan kenangan sesuatu atau beberapa banjir yang dahsyat di lembah Tigris atau Euphrate, yaitu banjir-banjir yang dibesar-besarkan dalam tradisi sehingga menjadi suatu bencana dunia, adalah tidak penting; yang penting adalah bahwa pengarang Kitab Kejadian telah mengisi kenangan itu dengan ajaran abadi mengenai keadilan dalam rahmat Tuhan, serta kejahatan manusia, dan keselamatan bagi orang yang benar.
Dengan begitu maka untuk merubah suatu legenda rakyat menjadi suatu kejadian suci yang perlu diyakini oleh umat beragama, adalah suatu tindakan yang dapat dibenarkan selama pengarang memakainya untuk contoh dalam pelajaran agama. Sikap apologetik semacam itu akan membenarkan segala macam penyalahgunaan tulisan-tulisan yang dianggap suci dan mengandung sabda Tuhan. Membenarkan campur tangan manusia dalam hal-hal yang suci berarti menutupi segala perubahan-perubahan yang dilakukan oleh manusia terhadap teks Bibel. Jika terdapat suatu maksud teologik maka segala perubahan dibolehkan, dan dengan begitu maka orang membenarkan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pengarang-pengarang Sakerdotal (pendeta-pendeta) pada abad VI serta kesibukan-kesibukan legalistis yang akhirnya menghasilkan riwayat-riwayat khayalan yang sudah kita lihat.
Ada kelompok yang tidak kecil daripada ahli-ahli tafsir Kristen yang merasa bangga untuk menerangkan kekeliruan, kesalahan dan kontradiksi yang terdapat dalam Bibel dengan mengemukakan alasan bahwa para pengarang Bibel terpengaruh oleh faktor-faktor sosial daripada peradaban atau mental yang berbeda dengan peradaban dan mental sekarang; ini berarti bahwa persoalan kekeliruan dan kontradiksi tersebut berakhir dan menjelma menjadi suatu jenis yang khusus daripada kesusasteraan. Penggunaan istilah "suatu jenis yang khusus daripada kesusasteraan" ini dalam perdebatan yang rumit di antara para ahli tafsir Bibel telah dapat menutupi segala kesulitan. Tiap kontradiksi antara dua teks dapat dijelaskan dengan: perbedaan cara ekspresi daripada tiap pengarang, khususnya perbedaan gaya sastranya. Sudah tentu argumentasi seperti ini tidak dapat diterima oleh semua orang, karena argumentasi tersebut tidak serius. Tetapi argumentasi tersebut masih ada orang yang memakainya sekarang, dan dalam membicarakan Perjanjian Baru, kita akan melihat orang-orang menafsirkan kontradiksi yang ada didalamnya dengan cara yang berlebihan. Suatu cara lain untuk memaksakan hal-hal yang tak dapat diterima oleh logika dalam teks Bibel adalah dengan mengelilingi teks tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan apologetik. Dengan begitu maka perhatian pembaca dialihkan dari problema crucial mengenai kebenaran kepada problema-problema lain.
Pemikiran-pemikiran Kardinal Danielou mengenai Banjir yang dimuat dalam majalah Dieu Vivant (Tuhan yang hidup), nomor 38 tahun 1947 halaman 95-112 dengan judul "Banjir Pembaptisan dan Hukuman," menunjukkan cara tersebut. Ia menulis: "Tradisi yang paling kuno daripada Gereja telah terlihat dalam Teologi Banjir, gambar Yesus Kristus dan gambar Gereja. Ini adalah hikayat yang besar sekali artinya. Hukuman yang mengenai seluruh umat manusia." Setelah mengutip Origene yang dalam karangan: "Ceramah tentang Yehezkiel," membicarakan tentang tenggelamnya seluruh Dunia dan diselamatkannya dalam Perahu, Kardinal Danielou tersebut membicarakan tentang pentingnya angka delapan (yang menunjukkan jumlah orang yang diselamatkan oleh Perahu; Nuh dan isterinya serta tiga orang anaknya dan isteri-isteri mereka). Ia mengulangi yang ditulis oleh Yusten dalam Dialognya "mereka itu memberikan simbol hari ke delapan, hari Yesus Kristus dibangkitkan dari mati" dan ia menulis: "Nuh, yang dilahirkan pertama daripada penciptaan baru, suatu citra Yesus Kristus yang merealisir apa yang digambarkan oleh Nuh." Ia meneruskan perbandingan antara Nuh yang diselamatkan oleh kayunya perahu dan oleh air yang mengapungkannya, dan air pembaptisan (air Banjir yang melahirkan kemanusiaan baru) dan kayu salib.
Kardinal menekankan nilai simbolisme dan menutup uraiannya dengan menekankan kekayaan spiritual dan doktrinal daripada sakramen Banjir! Banyak sekali yang dapat dikatakan mengenai pendekatan-pendekatan apologetik. Pendekatan semacam itu menerangkan suatu kejadian yang tak dapat dipertahankan kebenarannya, dan pada waktu yang diterangkan oleh Bibel, dengan penjelasan yang bersifat universal. Dengan tafsiran seperti yang ditulis oleh Kardinal Danielou kita kembali ke abad pertengahan di mana kita harus menerima teks apa adanya dan segala pembicaraan mengenainya terlarang kecuali pembicaraan yang menguatkan. Meskipun begitu, saya merasa segar bahwa sebelum periode obscurantisme yang dipaksakan ini, kita baca sikap-sikap yang logik seperti sikap Agustinus yang menunjukkan pemikiran yang maju, lebih dahulu daripada pemikiran yang ada pada masa hidupnya.
Pada periode pendeta-pendeta Gereja, problema kritik teks sudah terasa oleh karena Agustinus menyebutkannya dalam suratnya no. 82, yaitu yang mengandung kalimat-kalimat penting sebagai berikut: "Khusus kepada fasal-fasal dari Bibel, yang dinamakan kanonik (yang telah dilegalisir oleh Paus) saya memberi perhatian dan kehormatan, dan saya yakin seyakin-yakinnya bahwa tak seorangpun daripada para pengarang-pengarangnya yang melakukan kekeliruan dalam menulisnya. Jika dalam fasal-fasal itu saya jumpai suatu pernyataan yang kelihatan bertentangan dengan kebenaran, maka saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa: teks (yang saya baca) itu salah, atau si penterjemah tidak menterjemahkan teks asli sebaik-baiknya, atau pikiran saya kurang cerdas.
Bagi Agustinus, tak terbayang bahwa suatu teks kitab suci dapat mengandung kesalahan. Agustinus memberi penjelasan tentang "dogma bahwa Bibel tidak bisa salah" secara terang dan jelas. Jika ada kalimat-kalimat yang nampaknya kontradiksi dengan kebenaran, ia mencari sebabnya, dan tidak mengenyampingkan kemungkinan sebab itu datang dari manusia. Sikap semacam itu adalah sikap orang yang percaya dan mempunyai daya kritik.
Pada zaman Agustinus ( 354 - 430 M ) belum ada kemungkinan konfrontasi antara teks Bibel dan Sains. Suatu pandangan yang luas yang serupa dengan pandangan Agustinus akan menghilangkan kesulitan-kesulitan yang disebabkan konfrontasi antara beberapa teks dalam Bibel dengan pengetahuan ilmiah.
SIKAP PENGARANG PENGARANG KRISTEN TERHADAP KESALAHAN ILMIAH DARI TEKS BIBEL (2/2)
Sebaliknya, para spesialis pada masa kita sekarang merasa bangga untuk mempertahankan teks Bibel terhadap sangkaan kesalahan. R.P. de Vaux, dalam Pengantar kepada Kitab Kejadian memberikan sebab-sebab yang mendorongnya untuk mempertahankan teks Bibel, walaupun teks tersebut ternyata tidak dapat diterima dan segi sejarah atau dari segi Sains. Ia meminta kita "supaya jangan memandang sejarah dalam Bibel dengan kacamata metode-metode yang diikuti oleh orang-orang modern," seakan-akan ada beberapa cara untuk menulis sejarah. Jika sejarah itu ditulis dengan cara yang tidak betul, maka ia menjadi roman sejarah. Tetapi dalam hal ini, sejarah menjadi terlepas dari konsep-konsep kita.
Ahli-ahli tafsir Bibel menolak pengamatan teks Bibel dengan geologi, paleontologi dan ilmu pra sejarah. Ia menulis: Bibel tidak ada sangkut pautnya dengan disiplin-disiplin tersebut. Jika seseorang ingin mengkonfrontasikan Bibel dengan ajaran Sains, ia hanya akan mencapai sebagai hasilnya, suatu pertentangan yang tidak riil, atau suatu persesuaian yang "semu."
Perlu diterangkan disini bahwa pemikiran-pemikiran ini dikemukakan berhubung dengan hal-hal yang terdapat dalam Kitab Kejadian yang sama sekali tidak sesuai dengan Sains modern yakni yang terkandung dalam 11 fasal yang pertama. Tetapi jika ada bagian-bagian Bibel yang sekarang ini diperkuat oleh ilmu pengetahuan, umpamanya beberapa hikayat dari zaman nabi-nabi bangsa Israil, pengarang tidak segan-segan memakai pengetahuan modern untuk menunjang kebenaran Bibel. Ia menulis dalam halaman 34: Keragu-raguan terhadap hikayat ini harus disingkirkan karena sejarah dan arkeologi Timur telah memberikan kesaksian yang menguntungkan. Dengan kata lain: jika Sains berfaedah untuk menguatkan teks Bibel ia menggunakannya; jika Sains melemahkan teks Bibel, orang tak boleh mempergunakan Sains untuk menyesuaikan hal-hal yang tidak dapat disesuaikan, yakni untuk menyesuaikan teori bahwa Bibel itu mutlak benar.
Dengan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam Perjanjian Lama, ahli-ahli teologi modern mencoba meninjau kembali tentang konsep klasik mengenai kebenaran. Untuk menyebutkan secara terperinci argumentasi-argumentasi rumit yang berkembang dalam karangan-karangan mengenai Kebenaran Bibel seperti karangan O. Lorentz (1972) "Apakah kebenaran Bibel itu (quelle est la verite de la Bibel), akan membawa kita keluar dari rangka buku ini; cukuplah kiranya jika kita cantumkan disini pantangannya mengenai Sains."
Penulis menyebutkan bahwa Konsili Vatikan II berhati-hati untuk memberi patokan guna membedakan antara kekeliruan dan kebenaran dalam Bibel. Pertimbangan-pertimbangan fundamental menunjukkan bahwa hal tersebut adalah mustahil oleh karena Gereja tidak dapat memutuskan kebenaran atau kesalahan metode ilmiah sehingga ia juga tidak dapat memutuskan kebenaran Bibel secara umum dan menurut prinsip.
Memang jelas bahwa Gereja tak dapat mengatakan terus terang mengenai metode ilmiah sebagai usaha untuk sampai kepada Pengetahuan. Tapi itu bukan persoalan yang kita bicarakan. Kita tidak membicarakan teori-teori tetapi membicarakan fakta yang jelas. Apakah kita harus menjadi pendeta besar di zaman kita ini untuk mengetahui bahwa alam itu tidak diciptakan dan bahwa manusia itu tidak timbul di dunia ini semenjak 37 atau 38 abad, atau mengetahui bahwa perkiraan yang didasarkan atas silsilah keturunan dalam Bibel mungkin dianggap salah, tanpa ada resiko kekeliruan. Pengarang yang namanya disebut di sini (O. Lorentz) tentu mengetahui hal ini.
Keterangannya tentang Sains hanya dimaksudkan untuk mengelakkan persoalan, karena ia tidak membahas persoalan tersebut secara yang semestinya. Bahwa kita menyebutkan sikap para pengarang Kristen dalam menghadapi kekeliruan ilmiah dalam teks Bibel menunjukkan kesulitan yang timbul karenanya dan menunjukkan pula bahwa tidak mungkin untuk menerangkan sikap yang logis kecuali dengan mengakui bahwa kekeliruan-kekeliruan itu berasal dari manusia dan rasanya tidak mungkinlah untuk menerima kekeliruan-kekeliruan tersebut sebagai suatu bagian daripada wahyu.
Krisis yang mencekam kalangan-kalangan Gereja mengenai wahyu telah terungkap dalam Konsili Vatikan II (1962-1965), di mana diperlukan lebih dari 5 redaksi untuk sampai kepada suatu teks final sesudah perdebatan selama 3 tahun. Dengan begitu maka berakhirlah "situasi yang parah dan mengancam bubarnya Konsili," menurut kata-kata Monsieur Weber dalam kata pengantarnya untuk dokumen no. 4 mengenai: Wahyu. Dua kalimat dalam dokumen Konsili Vatikan mengenai Perjanjian Lama (fasal 4, halaman 3) menyebutkan kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan beberapa teks dengan cara yang tidak dapat lagi dibantah.
Dengan mengingat situasi manusia sebelum keselamatan yang ditegakkan oleh Yesus Kristus, kitab-kitab (fasal-fasal) Perjanjian Lama memungkinkan kepada kita semua untuk mengetahui siapa Tuhan itu dan siapa manusia itu, begitu juga rasanya Tuhan dalam keadilanNya dan rahmatNya bertindak terhadap manusia. Kitab-kitab (fasal-fasal) itu walaupun mengandung hal-hal yang tidak sempurna dan lemah, merupakan saksi dari pendidikan ilahi yang benar.6 Dengan kata "imparfait" (tidak sempuma) dan "Caduc" (lemah) yang dipakai untuk memberi ciri kepada beberapa teks, berarti bahwa teks-teks tersebut dapat dikritik dan dapat ditinggalkan. Prinsip ini telah diterima secara jelas sekali.
Teks ini merupakan satu bagian daripada deklarasi umum yang mendapat 2344 suara pro dan 6 kontra. Tetapi sesungguhnya tidak diperlukan adanya gambaran hampir aklamasi. Dalam tafsiran dokumen resmi, di bawah tanda tangan Monsigneur Weber kita dapatkan suatu kalimat yang dengan jelas mengoreksi adanya "caducite" (kelemahan) beberapa teks yang termasuk dalam deklarasi agung daripada Konsili "Tidak ada syak lagi bahwa beberapa fasal dari Bibel Israil mempunyai sifat "sementara" dan sifat "tidak sempurna."
"Caduc" suatu kata dalam deklarasi resmi, tidak sinonim dengan "sifat sementara" yang dipakai oleh juru tafsir. Mengenai kata sifat "Israilite" yang ditambahkan, memberi kesan bahwa deklarasi Konsili hanya dapat mengkritik versi Ibrani; padahal soalnya tidak begitu. Yang menjadi sasaran Konsili adalah Perjanjian Lama, dan Perjanjian Lama itulah yang dianggap mengandung kekurangan dan kelemahan dalam beberapa bagiannya.
KESIMPULAN
Kita harus memandang Bibel bukan dengan melekatkan kepadanya secara resmi sifat-sifat yang kita inginkan untuknya, tetapi, dengan menelitinya sebagaimana adanya secara obyektif. Ini memerlukan pengetahuan tentang teks dan juga tentang sejarah teks-teks tersebut. Sejarah teks memungkinkan kita memperoleh idea tentang keadaan-keadaan yang mendorong kepada terjadinya perubahan-perubahan teks selama beberapa abad, kepada terbentuknya teori yang kita miliki secara pelan-pelan dengan beberapa pengurangan atau penambahan.
Hal-hal tersebut memungkinkan sekali bahwa dalam Perjanjian Lama kita mendapatkan versi bermacam-macam mengenai sesuatu hikayat, atau mendapatkan kontradiksi-kontradiksi, kekeliruan sejarah, kesalahan dan ketidak sesuaian dengan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah pasti. Hal-hal yang akhir ini sangat wajar dalam karya manusia kuno, sehingga wajar pula jika kita menemukannya dalam buku-buku yang ditulis dalam kondisi tersusunnya teks Bibel.
Sebelum problema ilmiah muncul, dalam periode di mana orang belum dapat mengatakan tidak benar atau kontradiksi, seseorang yang berperasaan sehat seperti Agustinus, berpendapat bahwa Tuhan tidak mungkin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan ia membentuk suatu prinsip yaitu: kemustahilan bahwa pernyataan yang tidak sesuai dengan kebenaran itu berasal dari Tuhan. Dan karena itu ia bersedia untuk mengeluarkan hal yang semacam itu dari Bibel.
Kemudian, ketika orang sudah dapat memahami bahwa beberapa bagian Bibel tidak sesuai dengan pengetahuan modern, manusia tidak suka mengikuti sikap seperti tersebut di atas. Dengan begitu kita mengalami perkernbangan teratur yang bertujuan untuk memelihara dalam Bibel teks-teks yang mestinya sudah tidak mempunyai tempat lagi. Konsili Vatikan II (1962-1965) telah meredakan sikap yang keras ini dengan mengemukakan reserve untuk "fasal-fasal Perjanjian Lama" yang mengandung "hal-hal yang kurang sempurna dan hal-hal yang lemah." Apakah sifat reserve tersebut merupakan suatu pandangan taqwa semata-mata atau akan disusul dengan perubahan sikap terhadap hal-hal yang tak dapat diterima lagi pada abad XX dalam buku-buku yang jika diselamatkan dari perubahan-perubahan yang dibikin oleh manusia, hanya akan dijadikan oleh Tuhan sebagai saksi daripada pendidikan suci yang hakiki
Sumber : ( Bibel, Qur’an & Sains Modern. Book of Dr. Maurice Bucaille hal. 54-60 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar