Selasa, 16 Juli 2013

Antara Dokter Dan Kiai

Oleh : Abdul Rahman, (sumber : http://tunasilmu.com/antara-dokter-dan-kiai/)


Alhamdulillâhi wahdah, wash shalalâtu was salâm ‘alâ rasûlillâh.

Ada apa dengan kiai dan dokter? Ada masalah apa antara keduanya? Ndak ada apa-apa koq! Hanya saja dalam kesempatan kali ini kita ingin menyoroti persamaan antara dua profesi tersebut dan perbedaannya.

Persamaannya: baik kiai maupun dokter, sama-sama bertugas untuk menjaga kesehatan manusia dan mengobati penyakit mereka. Kiai menjaga kesehatan rohani dan mengobati penyakit-penyakit hati, sedangkan dokter, tugasnya menjaga kesehatan jasmani serta mengobati penyakit-penyakit fisik.

Kedua profesi tersebut sama-sama penting dan dibutuhkan manusia. Mengabaikan salah satunya akan merugikan insan.

Sekedar contoh: orang yang sehat rohaninya namun sakit gigi, dia akan terganggu manakala membaca al-Qur’an. Sebaliknya orang yang sehat jasmaninya namun sakit hatinya, dia akan tidak merasa berdosa untuk berkorupsi ria.

Itu salah satu persamaannya, lantas apa perbedaan antara kiai dan dokter? Jika dicermati, tentu akan banyak ditemukan sisi perbedaannya, namun yang akan kita singgung di sini adalah perbedaan masyarakat dalam menilai dan menyikapi keduanya.

1. Banyak masyarakat cenderung selektif dalam memilih dokter, namun tidak sebaliknya manakala mereka mencari kiai.

Itu akan terlihat jelas manakala orang mau berobat, seringkali dia akan begitu berhati-hati dalam memilah dan memilih dokter, bahkan dalam yang satu spesialisasi sekalipun! Namun tidak demikian manakala mereka mengaji dan bertanya dalam ilmu agama. Banyak di antara mereka cenderung asal-asalan dalam memilih narasumber, senemunya! Padahal jika dalam dunia medis dikenal mal praktek, dalam ranah keulamaan pun juga dikenal adanya kiai palsu. Bahkan sejak empat belas abad lalu, Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam sudah mengisyaratkan akan adanya fenomena tersebut,

“Sesungguhnya Allah tidak melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan cara mencabut ilmu tersebut dari para hamba-Nya, namun Allah akan melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan meninggalnya para ulama. Hingga jika tidak tersisa seorang ulamapun, para manusia menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai panutan, mereka menjadi rujukan lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga sesat dan menyesatkan”.
(HR. Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, dengan redaksi Bukhari).

2. Realita berkata bahwa banyak di antara kita yang tidak sadar manakala menderita sakit rohani. Kebalikannya manakala terjangkiti penyakit fisik, kita akan segera berfikir dan terbebani untuk lekas membebaskan diri darinya, dengan beragam cara yang bisa ditempuh.

Contoh nyatanya: tatkala terjangkiti penyakit pelit, sombong, hasad dan yang semisal, kebanyakan kita akan tenang-tenang saja, seakan tidak ada apa-apa. Namun manakala divonis dokter sebagai penderita
kanker stadium tinggi misalnya, maka akan kalang kabut, seakan kiamat telah tiba. Padahal kesengsaraan sejati adalah kesengsaraan di akherat yang itu bersumber dari penyakit rohani. Adapun kesengsaraan di dunia tidaklah seberapa. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

“Di hari kiamat kelak akan didatangkan calon penghuni neraka yang dahulunya ketika di dunia hidup paling senang. Lalu dicelupkan ke dalam neraka sekali, kemudian ditanya, “Wahai anak Adam, pernahkah engkau merasakan keindahan dan kenikmatan duniawi?”. “Tidak demi Allah, wahai Rabbi” jawabnya. Lalu didatangkan calon penghuni surga yang dahulu di dunia hidupnya paling sengsara. Kemudian dicelupkan ke dalam surga sekali, dan ditanya, “Wahai anak Adam, pernahkah engkau merasakan kemiskinan dan mengalami kesengsaraan?”. “Tidak demi Allah wahai Rabbi, aku tidak pernah merasakan kemiskinan ataupun mengalami kesengsaraan”.
(HR. Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu).

Padahal itu hanyalah satu celupan, bagaimana dengan kekekalan di dalamnya?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar