Minggu, 23 Juni 2013

BUDDHA DAN MUHAMMAD S.A.W.

“Boleh jadi engkau akan membunuh dirimu karena duka-cita, karena mereka tak mau beriman” (Q.S. 26:3).

Buddha, sebagaimana telah kami ceriterakan, adalah putera seorang Raja. Sketsa hidupnya secara singkat berisi tujuh perkara: Pada masa mudanya suatu kali dia melihat seorang tua, seorang sakit dan seorang mati. Melihat tiga bencana dalam kehidupan manusia ini, dia sangat sedih sehingga memutuskan untuk mencari tahu penyebab dari kesedihan ini serta cara untuk menghindarinya. Karena itu dia mengasingkan diri untuk menyelamatkan manusia dari kekacauan yang menakutkan ini. Lalu dia membuang pakaian kerajaannya, berpisah dari isteri dan puteranya, meninggalkan istana dan menjalani hidup kependetaan, menarik diri dari segala keinginan duniawi.

Dia mengabdikan dirinya sematamata untuk menemukan penyebab dari kesakitan dan kesusahan yang meraja-lela di antara umat manusia. Dia mengunjungi banyak Resi dan muni (para wali dalam agama Hindu) dan mengadakan diskusi bersama mereka selama enam tahun. Tidak puas dengan mereka lalu dirinya sendiri menjalankan banyak praktik yang keras dalam Hindu Yogi tanpa ahasil. Tetapi simpatinya kepada penderitaan umat manusia serta hasratnya yang kuat untuk menyelamatkan kemanusiaan telah menarik turun kepemurah dan pengasih-Nya Tuhan, dan akhirnya di bawah pohon Bo dia menerima rahmat Ilahi dan cahaya yang menjadikannya memperoleh gelar “Cahaya Asia” (Ashvghosha, Kion I verg 3)

Mereka yang mempelajari kehidupan Nabi Suci kita akan mengetahui betapa beliau sangat terkejut melihat orang-orang yang terbenam dalam kebobrokan moral serta upacara mesum. Beliau demikian gelisah memikirkan mereka dan seringkali bangun pada waktu malam serta hatinya membubung tinggi; dia sering meninggalkan rumahnya dan pergi ke gua di Bukit Hira.

Kesunyianlah sesungguhnya yang menjadi hasrat dalam dirinya. Di sini dalam gua ini dia sering tinggal semalam suntuk, merenungkan nasib murung dari umatnya, berdoa dan menangis di hadapan Tuhan Yang Maha-kuasa untuk menciptakan bangsa yang beradab kelaur dari kaum yang liar itu. Seorang sufi zaman ini telah mnggambarkannya dengan kata-kata berikut ini: “Saya tak tahu betapa besar kegelisahan, kesedihan dan kedukaan yang meliputi fikirannya, dan yang menariknya ke gua yang sunyi itu dengan prihatin dan susah hati. Tiada ketakutan sedikitpun terhadap kegelapan dalam fikirannya ataupun kegentaran terhadap kesunyian, tidak takut mati, tidak khawatir terhadap reptil berbisa. Dia menangis penuh kesakitan demi perbaikan umatnya. Bermohon kepada Tuhan siang dan malam telah menjadi hasratnya. Karena itu mengingat kerendah-hatiannya, doa dan kesungguhan permohonannya, maka Tuhan Yang Maha-pengasih telah menganugerahkan kepadanya rahmat bagi dunia yang gelap mencekam”. Di gua ini kata-kata Tuhan yang diucapkan kepadanya akhirnya menjadi kekuatan yang memberi kehidupan kepada dunia. Karena itu Bukit Hira disebut Bukit Cahaya (Jabal an-Nur).. Demikianlah Nabi Suci dipanggil untuk mengemban tugas berat ini, yakni reformasi dari seluruh umat manusia; dan sesuai dengan nubuat dari Sakyamuni Gautama, Muhammad adalah Maitreya Buddha yang dihormati oleh sekitarnya

( MAULANA ABDUL HAQUE VIDYARTHI dalam bukunya, Muhammad In World Scripture, p. 202-203 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar