Rabu, 12 Juni 2013

Menganggap Ahmadiyah sebagai bagian dari kaum Muslimin merupakan kesesatan.

Salah sangka kalau menyatakan Ahmadiyah sebagai bagian dari kaum Muslimin. Menganggap Ahmadiyah sama dengan Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Hizbut Tahrir dan ormas Islam lainnya tentulah sangat keliru. Memang banyak kaum Muslimin yang tidak mengerti dan menganggap Ahmadiyah sama dengan kaum muslimin lainnya lantaran jemaat Ahmadiyah juga melaksanakan shalat, tempat ibadahnya juga masjid, mengenakan kopyah. Padahal ada perbedaan mendasar antara keduanya. Jadi bukan sekadar perbedaan furu’iyah (masalah cabang) tapi sudah berbeda secara akidah.

Bukan Perbedaan, Namun Penyimpangan
Pendapat Ahmadiyah bahwa ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. tidak termasuk dalam perbedaan (ikhtilaf) yang dibolehkan, melainkan termasuk pendapat yang sesat atau menyimpang. Sebab, pendapat ini telah menyalahi nash yang qath’i tsubutdan qath’i dalalah, bahwa tidak ada akan nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. Nash itu adalah firman Allah SWT

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi Rasulullah dan penutup para nabi." (QS al-Ahzab [33]: 40).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan tegas, “Ayat ini menunjukkan bahwa tak ada nabi lagi sesudah beliau. Jika tak ada nabi sesudah beliau, apalagi rasul sesudah beliau.” (Tafsir Ibnu Katsir, III/494).

Namun, Ahmadiyah menakwilkan ayat tersebut dengan berbagai hujjah yang curang dan manipulatif. Menurut mereka makna khatam[un] nabiyyinbukan dalam arti akhir[un] nabiyyin(nabi yang paling akhir), tetapi afdhalu nabiyyin(nabi yang paling utama). Implikasinya, masih akan nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw., hanya saja tidak seutama Nabi Muhammad saw. (M. Syuwaiki, Bara’ah al-Millah Al-Islamiyah, hlm. 9).

Jelas takwil ini hanya mengada-ada dan batil karena bertentangan dengan makna bahasa Arab dari khatam. Ibnu Manzhur pengarang Kamus Lisan al-‘Arabberkata bahwa khitam al-qawmartinya adalah akhiruhum. Jadi kata khatamartinya adalah yang terakhir(Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, XII/164). Al-Fairuz Abadi pengarang Kamus Al-Muhithjuga menyatakan, arti khatamadalah akhir (yang terakhir). Jadi ungkapanakhir al-qawmsama maknanya dengan khatam al-qawm(Al-Fairuz Abadi, Al-Muhith, 1/1420).

Apalagi ayat di atas diperjelas dengan hadis-hadis Nabi saw. yang mencapai derajat mutawatir, bahwa tak akan nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Para ulama menetapkan bahwa hadis “la nabiyya ba’di”adalah hadis mutawatir. Ini ditegaskan oleh banyak ulama seperti: (1) Imam al-Qurthubi ketika menafsirkan QS al-Kahfi: 77; (2) Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan QS al-Ahzab: 40; (3) Imam al-Baghdadi dalam kitabnya, Ushuluddin, hlm. 163; (4) Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, Qathf al-Azhar al-Mutanatsirah, hlm. 281; (4) Imam Al-Katani dalam kitab Nazham al-Mutanatsir fi al-Hadits al-Mutawatir, hlm. 208; (5) Imam Az-Zubaidi dalam kitabnya, Luqath al-La`ali Al-Mutanatsirah, dan lain-lain (Dikutip oleh M. Syuwaiki, Bara’ah al-Millah Al-Islamiyah, hlm. 23).

Di antara hadis “la nabiyya ba’di”tersebut adalah sabda Nabi saw.:

Dulu Bani Israil selalu diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan nabi yang lain. Sesungguhnya tak ada nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah; jumlah mereka akan banyak (HR Muslim).

Jadi, pemahaman Ahmadiyah bahwa akan nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. telah menyalahi nash al-Quran yang qath’i, juga hadis-hadis Nabi saw. yang mutawatir. Karena itu, jelas pendapat Ahmadiyah tak termasuk dalam perbedaan pendapat yang dibolehkan.
Selain itu, Ahmadiyah juga telah mengingkari apa yang disebut ma’lum[un] min al-din bi adh-dharurah, yaitu kewajiban jihad. Dalam kitab Majmu’ah IsytiharatMirza Ghulam Ahmad berkata, “Wa al-maqshud min ba’tsi wa ba’tsi ‘Isa alayh as-salam wahid[un] wa huwa ishlah al-akhlaqi wa man’i al-jihad.” (Tujuan dari pengutusan aku dan Isa as. adalah satu, yaitu memperbaiki akhlak dan melarang jihad) (Mirza Ghulam Ahmad, Majmu’ah Isytiharat, 1/303).

Dengan ajaran yang menghapuskan jihad ini, Ahmadiyah jelas telah murtad dan keluar dari golongan kaum Muslim. Sebab, kewajiban jihad merupakan satu perkara yang sudah terang, seperti halnya kewajiban shalat, zakat dan sebagainya.
Selain kesesatannya, Ahmadiyah juga merupakan antek penjajah Inggris.Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani dengan bangga memberikan testimoni,
“Mayoritas orang yang menjadi pengikutku adalah para pegawai sipil pemerintah Inggris golongan eselon tinggi, pejabat teras dan para pengusaha milyarder, termasuk advokat (pengacara), pelajar yang silau dengan kemajuan Inggris dan para ulama yang menjadi antek pemerintah di masa lalu atau yang masih aktif menjadi “kacung” yang melayani mereka, sehingga memperoleh keridhaannya… Saya dan para ulama yang menjadi pengikutku bertugas mempropagandakan kebaikan-kebaikan pemerintah kolonial Inggris agar diterima di hati banyak orang.” (‘Ariidhah Ghu-laam al-Qaadiyanii7/18)

Dengan demikian, jelaslah pendapat kalau Ahmadiyah bukanlah bagian dari kaum umat Islam bukan ikhtilaf yang dibolehkan, melainkan termasuk penyimpangan yang kufur dan sesat. Orang-orang yang menganggap entengmasalah ini dan mengatakan pendapat Ahmadiyah hanya sekadar beda penafsiran saja, tak lain hanyalah kaum bodoh dan pembohong yang berusaha untuk menyesatkan dan memurtadkan umat Islam. Jadi masihkah Anda menganggap Ahmadiyah bagian dari kaum Muslimin?[] fatih

BOKS

Jemaat Ahmadiyah Bertaubat

Sebanyak 16 orang warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Selasa (27/3) asal Kampung, Ciparay, Desa Cibeber, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat bertaubat dan menyatakan keluar dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Ikrar pertaubatan yang dibarengi pengucapan kembali dua kalimat syahadat disaksikan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cianjur di Aula Gedung Badan amil Zakat (BAZ), Cianjur. “Kami baru menyadari ternyata ajaran Ahmadiyah yang kami anut selama ini tidak benar," ucap Komar, anggota Ahmadiyah yang bertaubat.

Seperti halnya di Cianjur, di kampung Tolenjeng Sukagalih, Tasikmalaya, sudah banyak juga Jemaat Ahmadiyah yang kembali mengucapkan dua kalimat syahadat. Di desa yang termaksud basis terbesar Ahmadiyah di Tasikmalaya ini sudah 72 orang yang kembali bersyahadat.

Salah satunya Kang Maman, saat berbincang dengan Media Umat, ia mengungkapkan kalau masuknya dia ke jemaat Ahmadiyah lantaran ketidaktahuannya terhadap ajaran-ajaran Ahmadiyah.

“Waktu itu saya lihat tidak ada perbedaan Ahmadiyah dengan umat Islam lainnya, kami waktu itu tetap menjalankan shalat seperti biasanya di masjid. Jadi kelihatannya tidak ada yang aneh, biasa aja,” ujarnya.
Setelah banyak peristiwa yang terjadi di tempat tinggalnya dan mengetahui sedikit demi sedikit kesesatan Ahmadiyah, ia dan istrinya kembali bersyahadat dan memeluk Islam. [] fatih

Disadur dari : http://mediaumat.com/fokus/3717-81-kesesatan-kesesatan-ahmadiyah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar